Sabtu, 12/09/2015 14:00:20 | Dibaca
: 421
Rezim Orde Baru meninggalkan bekas
luka hingga kini bagi umat Islam. Pada akhir 60-an menjelang awal 70-an rezim
ini mulai menekan umat Islam demi panggung pemilu, maka selepas pemilu 1971,
rezim orba mulai menampakkan wajah sebenarnya, termasuk pada umat Islam di
Indonesia.
Berbagai tekanan mulai dilancarkan
kepada umat Islam. Setelah menolak memberikan izin bagi para tokoh-tokoh
Masyumi untuk berpolitik, rezim ini juga menekan kaum Nahdiyin di tanah air. NU
yang beroposisi pada rezim orde baru, serta kencang mengkritik Soeharto dan
kabinetnya, ditekan keras. Kebijakan-kebijakan orde baru terhadap umat Islam
memang pantas dikritik, bahkan ditentang. Mulai dari RUU Perkawinan yang
mengesampingkan Syariat Islam, rencana rezim Orba untuk mengakomodir aliran kepercayaan
sejajar dengan agama, persoalan P4 hingga upaya orde baru untuk membungkam
politik umat Islam lewat mengasingkan para tokoh Masyumi dari politik, seperti
terhadap M. Natsir, Moh Roem yang tak diizinkan menjadi ketua Parmusi, hingga
peleburan partai-partai Islam menjadi satu partai yaitu Partai Persatuan
Pembangungan (PPP).
Umat Islam saat itu benar-benar
dipinggirkan aspirasinya. Tak mengherankan, karena Suharto saat itu memilih
orang-orang terdekatnya dari kalangan bukan Islam, termasuk kejawen. Ali
Moertopo dan Hoemardani yang berada dalam lingkaran kekuasaan Orde Baru
memaksimalkan pengaruhnya melalui think-thank Centre for Strategic and
International Studies (CSIS).
Upaya rezim Orde Baru yang
menyatukan partai Islam dalam satu partai justru menjadi blunder ketika Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) malah mendulang suara di pemilu 1977. Golkar yang
sempat terancam kalah ketika itu, membuat Suharto memikirkan kembali kebijakan
untuk menghadang peran umat Islam dalam politk kala itu. Isu-isu seperti
ekstrim kanan, ‘Komando Jihad’ menjadi hembusan permainan intelejen yang
dihembuskan untuk mendiskreditkan geraakan umat Islam. Mantan Menteri Agama
yang juga tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri pun mengkritik isu-isu ‘Komando Jihad’
yang dihembuskan rezim Orde Baru,
“Bagaimanapun, secara sepintas lalu,
isyu ‘Komando Jihad’ bisa dikesankan untuk ditujukan kepada Ummat Islam,
sekurang-kurangnya kepada golongan yang dikatagorikan ‘ekstrim.’ Kitapun tidak
lebih tahu, siapa golongan ‘ekstrim’ tersebut. Apakah yang anti Orde Baru? Yang
anti Pancasila? Yang anti UUD 45? Yang anti Pembangunan? Yang anti musyawarah?”
Aksi-aksi protes umat Islam baik
terhadap kebijakan orde Baru semakin menghebat kala Suharto menentukan
Pancasila sebagai asas tunggal. Polemik asas tunggal Pancasila semakin
menghebat di masyarakat dan ormas-ormas Islam. Penolakan-penolakan terhadap
Pancasila sebagai asas tunggal juga menggema di masjid-masjid. Gelombang
penentangan umat Islam terhadap rezim orde baru memang tampak menguat. Namun tak
ada yang menyangka, Suharto dan rezim Orba akan melakukan suatu kekejian yang
luar biasa terhadap umat Islam. Kekejian yang kelak kita akan mengenangnya
sebagai Tragedi Tanjung Priok.
Tanjung Priok, salah satu wilayah
dengan pemukiman padat di Jakarta, menjadi saksi kekejian rezim orde Baru
terhadap umat Islam. Awal mula kejadian ini, ketika tanggal 8 September 1984,
seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa), bernama Hermanu, memasuki Mushola
As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok. Menurut kesaksian masyarakat ia
masuk masjid tanpa melepas sepatu (meski Hermanu sendiri kelak membantahnya).
Di sana, ia keberatan dengan sebuah pamflet yang tertempel di dinding yang
menurutnya mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Padahal
pamflet tersebut hanya pengumuman pengajian rutin biasa. Menurut Hermanu, ia
kemudian memakai air selokan yang hitam itu untuk melepas pamflet yang melekat
dengan kuat di papan pengumuman. Namun menurut kesaksian ia menyiram pamflet
tersebut dengan air selokan.
Keesokan harinya, kejadian di
mushola tersebut menjadi pembicaraan warga. Namun tak ada penyelesaian dari
aparat terhadap masalah ini. Tanggal 10 September 1984, Hermanu dan rekannya,
diketahui keberadaannya oleh jemaah As-Sa’adah, yaitu Syarifudin Rambe dan Syofwan.
Kemudian terjadi perdebatan diantara mereka. Mereka kemudian melakukan
pembicaraan di Pos RW 05. Ketika pembicaraan tengah berlangsung, tiba-tiba
massa di luar sudah ramai. Menurut Hermanu, saat itu, massa berusaha menyerang
dirinya. Namun karena tak dapat menggapai dirinya, massa di luar yang tak
terkait dengan masalah ini kemudian merusak dan membakar sepeda motor Koramil.
Anggota Polres kemudian datang dan menangkap empat orang, yaitu Syofwan,
Syarifudin Rambe, Ahmad Sahi dan Mohammad Noor, yang dituduh membakar motor
tersebut. Mohammad Noor sendiri membantah telah membakar motor tersebut, ia
mengaku hanya memukul motor tersebut. Anehnya, aksi-aksi provokatif Hermanu
malah tidak ditindaklanjuti oleh aparat.
Tanggal 11 September, warga meminta
tokoh masyarakat setempat, Amir Biki untuk meminta aparat membebaskan keempat
orang yang ditangkap. Amir Biki, muslim yang taat, dan ditokohkan oleh
masyarakat Tanjung Priok, memang menjadi orang yang biasa berhubungan dengan
pihak militer (pemerintah). Amir Biki juga mengenal H.M.A. Sampurna, yaitu
Asintel (Asisten Intel) Kodam Jaya. H.M.A. Sampurna mengaku dihubungi Amir Biki
untuk membebaskan keempat orang tersebut yang ditahan di Polres atau Kodim.
Namun permintaan tersebut ditampik oleh H.M.A. Sampurna
Acara pengajian yang dimulai pukul
20.00 itu kemudian berujung memanas. Masyarakat yang masih tak puas dengan
penyelesaian kejadian di As-Sa’adah. Pukul 22.30, Amir Biki kemudian didaulat
untuk berbicara di atas panggung.Di depan jama’ah yang berjumlah ribuan, Amir
Biki mengajak jama’ah untuk menuntut pembebasan keempat orang yang ditangkap.
Ia kemudian berkata, “Kita tunggu sampai jam 23.00 WIB, apabila keempat
orang ini tidak dibebaskan juga, maka kita semua ke Kodim! Malam ini akan ada
banjir darah. Karena saya tahu moncong senjata TNI telah diarahkan ke kepala
saya!” Perkataan Amir Biki berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan dengan,
“Apabila saya meninggal malam ini, saya minta kepada jamaah untuk mengusung
jenazah saya keliling Jakarta!” Amir Biki juga mengingatkan, “Jangan
mengecewakan saya, saya peringatkan bahwa yang membuat kegaduhan itu bukan
jamaah kita,” serunya.
Ia kemudian memimpin massa untuk
menuju ke Kodim. Namun tujuannya bukan untuk melawan aparat, apalagi
memberontak. Amir Biki mengatakan pada kawannya Husain Safe saat itu, ketika
Husein menolak ikut jika tujuan mereka untuk memberontak. “Bukan untuk itu,
dan saya minta jangan ada yang melawan aparat karena itu bukan tujuan kita!”,
tegas Amir Biki.
Massa pun bergerak menuju Kodim. Di
jalan mereka bertakbir, sambil membawa bendera hijau bertuliskan kalimat
Tauhid. Tidak ada aksi anarkis sepanjang jalan. Namun belum sampai Kodim,
persis di depan gerja di samping Mapolres Jakarta Utara, massa terhenti. Mereka
dihadang aparat tentara, yang jumlahnya tak banyak saat itu, hanya belasan
orang. Barisan massa di depan berhenti, namun mereka terdesak untuk maju oleh
massa yang ada di belakang. Saat rombongan yang berada di depan barisan
berusaha menahan massa untuk berhenti, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan.
Massa pun panik, berhamburan. Tembakan kemudian terus menyusul, senapan
menyalak menghujani massa, tanpa henti 10 hingga 15 menit. Orang-orang
bertumbangan, berteriak, Allaahu Akbar-Allaahu Akbar menggema. Husain Safe yang
saat itu berada di barisan depan mengisahkan kejadian brutal tersebut,
“Detik-detik berlalu begitu
mencekam. Tak lama kemudian aparat-aparat yang menembak bergerak mundur agak
jauh dari saya sambil terus menembak. Mereka mencoba melihat lebih jauh ke
belakang, ke arah rombongan lain yang menuju kami. Ternyata itu adalah rombongan
Amir Biki. Saya dengar ada yang berteriak bahwa itu adalah Amir Biki. Disusul
lagi teriakan dari anggota pasukan lainnya, “Habisi saja!!”
Amir Biki pun tumbang. Begitu pula
massa lainnya. Mayat-mayat bergelimpangan di antara orang-orang yang terkapar
terluka, di jalan dan di selokan. Tentara terus memburu massa dalam kegelapan
akibat lampu dimatikan secara serentak. Kelak diketahui, lampu-lampu itu padam
akibat dimatikan langsung dari pusat oleh PLN. Tentara memburu siapa saja.
Orang yang lari ditembak hingga rubuh. Orang-orang yang tiarap dilindas truk
tentara yang datang sekonyong-konyong. Orang-orang yang bersembunyi di selokan
mendengar jelas jeritan-jeritan orang terlindas dan suara tulang remuk. Mereka
terus menembaki bahkan dari atas truk. Setelah 10 hingga 15 menit,
tembakan-tembakan kemudian berhenti.
Aparat itu memeriksa siapapun yang
tergeletak. Mencari yang masih hidup. Beberapa orang yang terluka namun masih
hidup, berpura-pura mati. Termasuk Yusron Zaenuri. Ia berpura-pura mati.
Mayat-mayat kemudian ditumpuk dan dilempar ke atas truk. Yusron Zaenuri,
dilempar ke truk bertumpuk-tumpuk dengan mayat. Dua mobil truk besar penuh
dengan mayat. Tak lama kemudian datang ambulans dan mobil pemadam kebakaran,
membersihkan jalan dari genangan darah. Ratusan orang menjadi korban. Namun,
pemerintah memberikan versi berbeda. Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani yang
meninjau lokasi tak lama setelah peristiwa keji tersebut menyatakan hanya
sembilan yang tewas dan 53 luka-luka. Menurut versi Pemerintah, massa bertindak
anarkis, meski para korban yang bersaksi menolak pernyataan tersebut. L.B.
Moerdani beserta Pangdam Jaya Mayjen Try Sutrisno juga mengunjungi RSPAD,
lokasi tempat korban luka-luka dirawat seadanya.
Umat Islam, beserta para tokoh
masyarakat mengecam peristiwa tersebut. Para tokoh Islam seperti Syafrudin
Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Anwar Harjono, AM Fatwa hingga tokoh
nasional seperti Hoegeng, Ali Sadikin, HR Dharsono menandatangani Lembar Putih
22 yang berisi keprihatinan tentang pernyataan sepihak dari pemerintah. Lembar
Putih 22 juga mengeluarkan kronologis dan fakta berbeda dari versi pemerintah.
Mereka menyebut keterangan sepihak pemerintah sebagai “musibah dalam musibah.”
Peristiwa ini memang tak hanya
musibah dalam musibah, tetapi juga musibah berlanjut musibah. Kekejian aparat
rezim Orde Baru tak hanya puas dengan membantai umat Islam di lokasi tetapi
dilanjutkan dengan penyiksaan terhadap orang-orang yang terluka. Selepas diobati
seadanya di rumah sakit, mereka kemudian ditahan tanpa ada proses yang legal.
Penangkapan-penangkapan juga berlanjut selepas tragedi tersebut. Baik yang
benar-benar ada di lokasi saat kejadian ataupun orang yang tak tahu menahu
tentang peristiwa tersebut. Mereka dipaksa untuk mengakui pernyataan palsu.
Penyiksaan demi penyiksaan menjadi rmakanan sehari-hari para tahanan. Mereka
diperlakukan lebih buruk daripada binatang. Syaiful Hadi salah seorang yang
ditahan menceritakan kisah pilu yang mereka alami.
“Dalam tubuh tanpa dibalut pakaian
itu, kami disiksa di atas kerikil tajam. Kami dipaksa berguling-guling di atas
kerikil itu, sementara tentara memukuli dengan tongkat dan menendangi dengan
sepatu lars. Dari mulut mereka terlontar hinaan yang menyakitkan. “Dasar PKI!
Anak gerombolan GPK!” hardik mereka. Kami cuma mampu mengucap, “Allahu
Akbar!” Namun setiap kami mengucap kalimat takbir itu, mereka selalu
melontarkan ejekan yang amat menyakitkan hati. “Di sini tidak ada Tuhan,”
bentak mereka. Astaghfirullah! Hati seperti berkeping-keping. Sementara tubuh
saya dan teman-teman tak henti-hentinya mengeluarkan darah. Darah segar
mengucur dari kepala sampai kaki.”
Ada pula kisah yang amat pedih
dialami Aminatun, salah seorang tahanan perempuan. Ia mengalami penyiksaan dan
pelecehan di tahanan. Aminatun yang ditahan meninggalkan anak-anaknya, kemudian
dipaksa menyaksikan kakak dan teman-temannya dipukuli, diestrum dan
ditelanjangi di depan dirinya. Ia pun tak lepas dari penyiksaan. Oleh aparat
perempuan, jilbabnya dirobek dan ia diancam akan ditelanjangi. Ia pun dilain
kesempatan akhirnya ditelanjangi oleh dua aparat perempuan. Ia dipaksa untuk
mengakui terlibat pengajian di Tanjung Priok.
Puluhan orang ditangkap dan siksa
aparat selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Orang-orang yang wafat
menjadi korban tak pernah jelas dimana mereka dikuburkan? Banyak keluarga,
ayah, ibu, anak mencari anggota keluarga mereka. Tak pernah ada kejelasan.
Nasib keluarga mereka. Bahkan ada yang dianggap telah meninggal, namun ternyata
kembali lagi, dengan cedera akibat penyiksaan sekian lama.
Penangkapan dan penyiksaan tak hanya
menyeret orang-orang kecil yang ikut dalam demonstrasi kala itu atau korban
salah tangkap, tetapi juga menyeret para mubaligh dan aktivis Islam. AM Fatwa,
penandatangan Lembar Putih turut ditangkap dan divonis berat begitu pula Letjen
HR Dharsono, Salim Kadir, Prof. Oesmany Al Hamidi yang sudah sepuh dan Abdul
Qadir Djaelani. Mereka rata-rata menerima vonis 18 hingga 20 tahun. Mereka
dianggap sebagai dalang dan provokator peristiwa Tanjung Priok. Peradilan yang
mereka jalani pun peradilan ‘sesat’ di bawah kendali oleh pemerintah.
Peristiwa Tanjung Priok memang
menjadi palu godam untuk menghantam umat Islam yang kritis terhadap pemerintah
Orde Baru. Upaya pemerintah yang terutama hendak memaksakan Pancasila sebagai
asas tunggal menimbulkan reaksi keras dari umat Islam. Peristiwa Tanjung Priok
benar-benar memukul umat Islam. Setelah peristiwa ini, penerapan Pancasila
sebagai asas tunggal tak lagi menemui kendala berarti. Namun bagi yang
memperhatikan peristiwa ini dengan seksama, pasti akan mencium bau busuk
operasi intelejen dalam peristiwa Tanjung Priok. Berbagai faktor mencurigakan,
misalnya insiden provokasi oleh Babinsa di mushola As-Sa’adah. Lalu aparat juga
condong mendiamkan warga yang tersulut emosinya. Ceramah-ceramah di wilayah itu
memang semakin memanas menjelang tanggal 12 September 1984. Tokoh umat Islam,
Muhammad Natsir, sudah mengingatkan para da’i dari Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) untuk tidak melakukan khotbah di daerah Tanjung Priok karena
situasinya semakin mencurigakan. Ceramah-ceramah menolak asas tunggal memang
semakin keras bergema di sana. Mustahil aparat tidak mengetahui hal ini. Bukan
kebiasaan aparat di rezim Orde Baru untuk mendiamkan ceramah-ceramah yang
kritis terhadap pemerintah.
Kecurigaan lain juga muncul melihat
kesiapan aparat ketika menghadang massa demonstran. Aparat yang belasan orang,
dihadapkan pada massa yang berjumlah setidaknya 1.500 orang. Reaksi aparat yang
membabi buta menghujani massa yang tertib dengan tembakan juga amat tidak
wajar. Turut menjadi pertanyaan adalah, mengapa lampu-lampu kala itu dipadamkan
secara total dengan mematikan aliran listrik dari PLN secara tiba-tiba dan
serentak? Massa dalam kegelapan tentu saja lebih mudah dikacaukan dan hinggapi
rasa panik serta ketidakjelasan melihat peristiwa. Namun yang paling
menimbulkan kecurigaan adalah berkumpulnya aparat (tentara) di Tempat Pemakaman
Umum (TPU) Mengkok Sukapura Cilincing, pukul 21.00, hanya beberapa jam sebelum
kejadian pukul 23.00. Aparat terlihat mengamankan lokasi pemakaman umum
tersebut. Kelak, para korban dimakamkan di TPU tersebut, beberapa jam setelah
kejadian tanpa diketahui keluarga korban. Fakta ini baru diketahui setelah para
korban yang menjadi aktivis untuk menuntut keadilan peristiwa Tanjung Priok,
menggali makam di sana dan menemukan tulang belulang korban pada tahun 1998.
Tak pelak, nama Panglima ABRI
Jenderal L.B. Moerdani dan Pangdam Jaya kala itu, MayJen Try Sutrisno acapkali
disebut sebagai pihak yang bertanggung jawab dibalik peristiwa tragis Tanjung
Priok. Terutama kepada Benny Moerdani yang tindak tanduknya menunjukkan
penentangannya kepada umat Islam. Bukan barang baru, tekanan terhadap umat
Islam disalurkan lewat operasi-operasi intelejen semacam isu ‘Komando Jihad’
dan lainnya. Namun hingga kini, tak ada satu pun aparat yang diadili atas
peristiwa ini, meski Komnas Ham telah menganggap peristiwa Tanjung Priok
sebagai pelanggaran HAM berat.
Bagi umat Islam generasi saat ini
setidaknya kita dapat memahami bagaimana perjuangan umat Islam di masa lalu
dalam membela kepentingan agamanya, menentang rezim brutal Orde Baru di bawah
Soeharto.
http://www.suara-islam.com/read/index/15460/-12-September-31-Tahun-Lalu--Tragedi-Pembantaian-Umat-Islam-di-Tanjung-Priok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar